Waktu kecil, saya gemar membuat prakarya. Dari mobil-mobilan, hingga membuat rakit di sungai. Dari kebutuhan rumah tangga, hingga tugas tugas sekolah. Kerap kali hobby saya yang satu ini saya salurkan memperbaiki pagar, jemuran, dan pot bunga di depan rumah.
Pada suatu sore yang yang tenang dan sejuk, saya terinspirasi membuat sebuah pot bunga. Kebetulan di sana ada ban bekas. “Wah, kalau dibuatkan pot bunga, keren ini,” kata saya dalam hati.
Segera saya mencari parang untuk memotong ban bekas tersebut. Terbayang sebuah pot yang indah, lengkap dengan cat warna-warni. Masukkan tanah dan pupuk secukupnya, lalu tanam kembang di dalamnya. Begitu khayalan yang berkelebat dalam benak saya sambil menenteng parang hendak memotong ban bekas.
Pemotongan pun saya mulai dengan tak sabaran. Perlahan saya arahkan parang pada ban bekas. Tak mempan dengan tekanan perlahan, tekananpun saya tambahkan. Tak bergeming juga. Ban hanya terluka sedikit. Boro-boro terpotong.
Tak kehabisan akal, saya tebaskan parang ke permukaan ban bekas. Tak berbeda dengan yang pertama, malah parang mental ke arah saya. Sepertinya ban ini menertawakan saya, sehingga perasaan jadi tak karuan. Antara kesal dan marah, saya sudah mulai kehabisan akal.
Saya coba lagi dengan cara yang berbeda, yakni parang dipukul dengan kayu. Tokk..tokk..tok. Nah, sedikit sayatan melukai ban bekas. Namun hasilnya tak menggembirakan. Ternyata ban bekas sangat alot dipotongnya. Kalau begini caranya, kapan ban ini berubah jadi pot yang indah? Berapa lama waktu dibutuhkan memotong sekelilingnya?
Nah, saat termenung, saya memandangi ban bekas penuh kebencian. Entah benci sama siapa. Sama ban, atau sama diri sendiri. Parang di tangan kiri, dan kayu pemukul di tangan kanan, persis tentara kalah perang.
Tiba-tiba saya disapa seorang nenek.
“Lagi potong ban bekas ya, dek!” sapanya dengan lirih.
“Iya nek! Tapi kok susah ya, Nek” Ucap saya pada si nenek.
“Ooo…kamu sih salah! Ada caranya, tolong ambilkan air!” Seru si nenek.
Belum beranjak dari rasa benci dan kesal, saya malah tambah heran. “Apa hubungan memotong Ban bekas dengan air?” ucap saya dalam hati. Tapi dengan setengah hati akhirnya saya pergi ke belakang mengambil seember kecil air. Kemudian saya serahkan pada sang Nenek.
Apa yang dilakukan si nenek? Perlahan, ban diguyur merata dengan air. Tunggu sebentar, lalu ia mulai memotong ban dengan mudah. Setiap pukulan kayu pada punggung parang, memotong ban bekas beberapa sentimeter. Proses pemotongan sangat cepat, dan kelihatan sangat enak dan mudah.
Saya hanya bengong melihat fenomena yang dipertontonkan sang Nenek pada saya. Karena terkesima, tak sadar saya telah mengambil alih pekerjaan itu darinya. Tak berapa lama, ban bekas telah terpotong, dan dapat dirakit menjadi pot. Saya kembali duduk dan merenung kejadian barusan dengan penuh takjub.
Sepotong makna:
Jika ingin hasil yang berbeda, maka kita wajib memakai cara berbeda pula.
http://edukasi.kompasiana.com/2010/09/23/seorang-nenek-dan-ban-bekas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar