Kisah ini bermula ketika saya menyempatkan diri berkunjung ke sebuah daerah terpencil di Jawa Tengah.
Dalam perjalanan, saya menjumpai seorang anak berpakaian kumal yang bekerja sebagai penyedia batu. Sehari-hari bocah itu harus bekerja mengangkat bongkahan-bongkahan batu yang besar, dan berjalan kaki mengantarkannya ke suatu tempat yang berjarak tiga kilometer dari lokasi pengambilan batu.
Saya terkesan melihat cara bocah itu bekerja. Apalagi setelah mengetahui, bahwa upaj yang diperolehnya sangat minim. Bayangkan, untuk sekali bolak-balik (6 kilometer), bocah itu hanya mendapatkan upah 50 rupiah!
Yang lebih menarik, semua kerja berat itu ia lakukan dengan senang hati, tanpa keluh kesah tergambar di wajahnya. Dengan rajin, anak lelaki itu mengangkat batu-batu besar, berjalan tiga kilo, balik lagi sejauh tiga kilo… mengangkat batu selanjutnya, berjalan lagi… dan seterusnya.
Sesekali terdengar siul riangnya, saat tangan kurusnya memasukkan sekeping uang logam lima puluhan ke kantong (Tiba-tiba saya teringat anak-anak lain di Jakarta, yang sering segan menggenggam keeping uang yang sama).
Rasa iba saya menguak. Saya tawari dia tempat tinggal dan kesempatan sekolah di Jakarta. Anak lelaki itu menyambut dengan gembira.
Begitulah… setelah berpamitan dengan ibunya, anak itu memulai kehidupannya di Jakarta.
Tahun demi tahun berlalu… bocah lelaki itu menyelesaikan tahap-tahap pendidikannya dengan sangat baik. Ia bahkan selalu mendapatkan rangking tiga besar di kelas. Secara rutin, saya selalu meminta dia untuk tidak lupa mengirim surat, dan memberi berita baik pada ibunya.
Anak lelaki itu pun mulai tumbuh remaja, namun ia tak pernah berubah. Selalu saja ada yang dikerjakannya di rumah. Mulai pekerjaan dapur, sampai menyapu. Meski di tempat tinggal kami, hal-hal seperti itu sudah ada yang mengurus.
Sampai akhirnya bocah lelaki itu berhasil lulus dengan memuaskan dari perguruan tinggi negeri tempat ia belajar. Saya menyambut keberhasilan itu dengan rasa haru yang dalam, dan memintanya segera mengabarkan ibunya berita baik ini.
Sekarang, bocah lelaki itu telah menjadi seorang pengusaha yang sukses dan hidup mapan. Namun kerendahan hati, dan sifat suka bekerjanya tak berubah. Ia masih ringan tangan dan selalu berusaha membantu.
Meski sudah menjadi ‘orang’, setiap kali ke rumah… dengan santai ia menggulung lengan bajunya dan mulai mencuci piring, menyapu, atau sekedar ikut membereskan pekerjaan rumah.
Hal lain yang sangat menghibur hati saya, adalah baktinya pada Ibu yang melahirkannya. Ia tak pernah lupa menelepon saya, untuk menceritakan tentang ibunya, dan memberi ‘kabar baik’ dengan nada gembira.
“Alhamdulillah, Pak, saya sudah belikan Ibu rumah.” Atau, “Pak Houtman? Alhamdulillah Ibu baik. Saya sudah belikan Ibu sawah, Pak!” Dan seterusnya.
Dan setiap kali dia menelepon, saya tahu… lelaki itu tak pernah melupakan ibunya!
(Seperti yang diceritakan Bpk Houtman Z. Arifin)
Pelangi Nurani (Asma Nadia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar